ISHOMAN, Waktu untuk berkontemplasi

Hidup itu penuh dengan banyak kejutan-kejutan yang kadang kita tidak mengerti dan tidak kita pahami. Namun, Allah, kadang berkehendak lain dan memberikan banyak warna-warni sehingga hidup kita lebih terasa lika-likunya.

 

Doc. pribadi

Begitulah hidup, rasanya kadang absurd tapi ya penuh dengan hal yang memang harus kita jalani. Salah satu hal yang mungkin tampak aneh adalah ketika saya memutuskan untuk menulis lagi disini setelah sekian lama. Blog ini sendiri sudah ada dari tahun 2017 tapi dibiarkan berdebu. 

Terlalu banyak alasan memang, kadang saya merasa itu cuma sebuah hal yan saya ada-ada karena pada dasarnya saya aktif menulis di Facebook. Lha, kenapa menulis di blog kok sulit banget? Bisa jadi karena saya memang nggak terbiasa, bisa jadi karena menulis di blog itu nggak semenarik di Facebook. Kenapa? Karena nggak ada interaksi langsung, nggak ada like dan komen. Nggak ada gegap gempita, nggak bisa rumpik langsung intinya. 

Jadi menulis blog itu mungkin kayak bicara pada diri sendiri, kayak semacam kita ngomong pada diri sendiri pas lagi kesel lalu butuh tempat biar nggak meledak. Sayangnya, saya tipe yang kadang butuh cepat respon dan ditanggapi, wkwk Makanya, menulis disini itu butuh effort tinggi. Butuh kesabaran, ketelatenan dan butuh magis. Salut untuk para teman-teman yang sudah mendedikasikan hidupnya pada malam-malam panjang agar blognya bisa hidup dan menginspirasi orang lain. 

Lalu kenapa menulis lagi? Begitulah, mungkin karena saya butuh nulis panjang tentang banyak hal selama ishoman, dan saya ingin menulisnya lebih rapi tanpa gegap gempita. Semcam jurna sederhana yang mungkin bisa jadi reminder buat diri saya sendiri bahwa pada saat pandemi banyak hal yang bisa kita maknai.

 

ISHOMAN 

Sebenarnya, ini bukan ishoman pertama saya. Awal tahun, tepatnya Februari. Kakak ipar saya sakit dan dirujuk ke ruma sakit terdekat, kakak saya selaku istri bergegas menemani. Saya sebagai adik, auto jaga rumah dan juga melakukan ishoman karena 3 hari kemudian hasil tes mereka berdua adalah positif.

Shok? Tentu,apalagi di desa waktu itu belum ada yang kena dan masuk rumah sakit. Saya tahu ada beberapa orang yang terpapar tapi melakukan ishoman saja dan diawasi pihak desa. Beda kasus, karena kakak ipar emang orang yang disiplin soal kesehatan, jadi beliau secara sukarela ke Rumah sakit dan menjalani sejumlah pemeriksaan dan pada akhirnya nyangkut bareng kakak saya selama 2 minggu.

Dalam 2 minggu itu, saya banyak belajar. Terutama memperbaiki hubungan saya dengan kakak perempuan saya yang memang kurang harmonis. Begitulah, kadang kalau kita dekat itu terasa ada saja maslah yang hadir dan membuat dinding ego kita membumbung tinggi. Beda ketika kita jauh, rasanya butuh banget dan merasa saudara atau kerabat adalah bagian yang sangat berharga.

Itu baru segelintir, ketika saya pribadi yang akhirnya terpapar maka saya rasanya menemukan sderert hal yang membuat saya bisa berkontemplasi. Lebuh tepatnya mikir jeru, soal banyak hal: Termasuk kembali memaknai hidup di tahun keempat sebagia seorang ibu tunggal. Lalu merombak beberapa list di dream board dan juga program kerja saya secara pribadi sebagai pekerja dunia maya. 

POSITIF

Saya ingat sekali, sore itu saya ingin es krim. Entahlah, kadang ketika sudah sangat penat, maka saya ingin menikmati sedikit waktu dengan memanjakan diri. Es krim dan cokelat biasanya jadi 2 hal yang bisa cukup menolong untuk kedaaan semacam ini. Apalagi, bulan lalu memang banyak hal yang cukup memberatkan pemikiran.

Sayangnya, saya kadang lupa dengan kondisi yang memang kurang fit. Saya bukan tipe pemerhati kesehatan, jadwal tidur saya berantakan, juga jadwal makan. Sungguh, tidak ada istilah hidup sehat bagi saya, apalagi setelah menjadi ibu tunggal. Saya berhak tidur jam berapapun dan juga melakukan apapun, asal anak sudah siap ke sekolah. Pemikitran yang cukup buruk sebenarnya, tapi begitulah saya kadang menghabiskan waktu. 

Sore itu saya pada akhirnya menccicipi satu cup kecil es krim vanila dengan harga di bawah Rp 5000. Saya membei 2 cup, untuk saya dan putri saya, bahkan masih sisa dan dapat beberapa snack yang akhirnya bikin sore saya lebih sedikit happy.

Malamnya, saya mulai merasakan efeknya. Tenggorokan saya sakit dan pada pagi hari saya merasa sangat lemas dan rasa pahit mulai menjalar. Selain makan es krim, saya juga makan malam dengan kombinasi yang cukup pedas. Jadi, saya berpikir bahwa imun tubuh memang lagi turun dan kemungkinan terburuk adalah tipes saya kambuh. 

Kondisi badan masih cukup baik dan fit, saya pergi ke bidan terdekat dan meminta obat. Beliau meresepkan beberapa obat dan berpesan saya untuk cukup istirahat agar bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Sungguh, nggak mikir bakal terpapar virus atau bagimana-bagaimana karena saya bukan tipe yang suka keluar. Bahkan keluar ya untuk urusan semacam ini, sisanya saya lebih banyak di rumah.

 

***

Malamnya, saya berjuang. Demam yang cukup tinggi, kaki saya ngilu amat sangat. Saya benar-benar merasa kesakitan. Belum lagi perih yang ada di perut, plus mual. Hal ini sampai di hari ketiga, tidak ada perbaikan sama sekali. Lalu, saya minta tolong kakak untuk membelikan obat cacing untuk tipes yang biasanya saya konsumsi. 

Satu hal penting, saya sudah tidak keluar rumah dan mulai memakai masker meskipun ada di rumah. Teman saya bilang, lebih baik mencegah meskipun saya sndiri merasa nggak akan terpapar virus. Dari mana coba? Itu pertanyaan yang kadang jawabannnya sampai sekarang tidak saya pahami. 

Alhamdulillah, demam saya turun dan mulai bisa bangun tidur. Saya kembali memaksakan diri dan beraktivitas seperti biasanya. Di titik ini saya menyadari ada hal yang tidak biasa, saya mengalami anosmia. Pagi itu, saya langsum chat kakak yang rumahnya ada di sebelah, wkwk

Putri saya langsung mandi dan beberes, saya siapkan baju secukupnya dan bilang harus tinggal di rumah budhenya sampai 2 minggu ke depan. Kakak saya, dia langsung membelikan saya susu beruang berkaleng-kaleng dan buah serta suplies makanan lainnya. 

Demam saya tidak terlalu tinggi lagi, kaki masih ngilu kalau malam. Di bagian ini, saya mulai merasakan batuk dan pilek dengan lendir yang berlebihan. Daripada menduga-duga, saya ,memutuskan untuk melakukan pemeriksaan dan berkonsulasi dengan bidan desa. 

Sempat tertunda sehari, karena tidak ada yang ngantar. Kakak saya cukup parno, beliau talut terpapar lagi, lalu siapa yang akan jaga anak-anak? Alhamdulillah, aank sepupu yang hampir seumuran adik saya bersedia mengantar ke Puskesmas. Akhirnya, setelah menunggu 2 jam karena nunggu barengan, diswab antigen juga. Hasilnya? Positif.

 

TERPAPAR DARI SIAPA? 

Februari lalu, saat kakak ipar terpapar maka kami tidak heran. Pertama, beliau bekerja di luar kota, tepatnya Surabaya. Beliau pulang saat weekend, dan saat itu memang sudah dalam keadaan sakit. Tahu sendiri, Surabaya juga termasuk daerah yang nggak pernah sepi dari warna merah. Jadi, semacam hal yang wajar jika bisa terpapar, apalagi memang baru ada temannya yang meninggal. 

Artinya, orang yang memang bekerja di luar punya kesempatan timggi terpapar apalagi yang memang bekerja di daerah yang tingkat penyebarannya sangat tinggi. Lalu, saya? Bagaimana bisa terpapar? Wong setiap hari kerjanya di kamar, nggak keluar sama sekali. 

Jangankan keluar kota, keluar rumah saja bisa dihitung. Paling mentok belanja ke dalam desa,  terus keluar rumah ke pak jualan sayur. Kontak yang erat? Keluarga pastinya, tiap hari yang saya temui ya anak-anak, baik anak saya maupun anak-anak kakak.

Selain itu? Ada mbak yang bantu saya di rumah, datangnya 2 hari seklai untuk setrika dan beberes. Ada satu lagi, mnbak yang bantu di rumah kakak, tiap hari datang dan ngobrol. Malah dengan kakak, bapak dan mama, saya jarang berinteraksi dan mengobrol. Kakak akan langsung istirahat seusai kerja, sedang bapak dan mama lebih sering keluar dan mengabiskan waktu berdua di rumah mereka yang memang satu atap tapi beda pintu masuk.

Saya kembali mengingat, siapa yanga saya temui. Hari pertama sakit, saya memang sempat ngantar bunga. Saat itu diantar yang kerja sama kakak saya, cuma ngasih kotak kardus dan menerima uang. Pulangnya saya mampir beli minuman cokelat untuk anak-anak lalu balik istirahat. Lalu siapa lagi? Ada mas kurir yang sempat ambil paket 2 kali dan salah satu teman yang narik arisan ke rumah. Selebihnya tidak ada orang lain yang kontak erat dengan saya secara langsung.

  ***

Selama isolasi, saya chat terus dengan kakak. Mungkin ada keluhan yang muncul lagi, disinilah kami menyadari bahwa Bapak sebelumnya menderita flu berat dan pada akhirnya Mama mengakui kalau sempat anosmia hampir seminggu lebih. Bahkan saat saya masih di awal sakit, keduanya masih flu parah. 

Saya juga mengabarkan hal tersebut pada bidan desa, dan biasa jadi memang dari keduanya saya terpapar. akan tapi kami tidak bisa memastikan. Hal terbaik adalah melakukan isolasi dan tes swab, meskipun pada awalnya mereka menolak. 

Selang sehari, mereka swab dan alhamdulillah hasilnya negatif karena kalau dilihat dari kurva, keadaan mereka memang sudah lewat dari 10 hari. Tes semacam swab antigen nggak akan mendeteksi, untuk PCR kayaknya tidak mungkin karena kedaan Rumah Sakit yang horor sudah di kota kami. Untungnya, setelah anak-anaknya ngotot, bapak dan mama mau diam di rumah dan melanjutkan isolasi. Alhamdulillah, sebelumnya bapak memang sudah lengkap vaksinnya.

Meskipun sudah masuk lansia, tidak ada keluhan yang berkaitan dengan kesehatannya. Paling darah tinggi, kolesterol dan peyakit capek karena sudah umur. Dalam hati, saya bersyukur bahwa Bapak sudah vaksin dan tidak punya keluhan apapun sehingga jika memang awalnya terpapar maka bisa sembuh tidak kurang apapun.


INTROSPEKSI DIRI

Saat menulis, saya sudah ada di hari keenam ishoaman. Alhamdulillah, sudah tidak ada keluhan, hanya kadang pagi masih gatal dan batuk serta berlendir. Saya sengaja tidak minum susu dulu, karena ternyat itu menyebabkan lendir, agak telat tapi saya lakukan saat teman memberi tahukan hal tersebut.

Selebihnya, tidak ada perawatan khusus dengan suplemen mahal atau multivitamin yang ini dan itu. Saya cuma menghabiskan obat dari bidan desa dan vitamin. Pagi saat bangun, saya minum propolis. Agak siang sebelum sarapan dan sore hari air jeruk dan madu. Untuk berjemur, saya pilih usai pukul 10:00 wib. Cukup 30 menit sambil sedikit berlari dan jalan di pematang belakang rumah, lebih fresh dan nggak ada orang yang lihat soalnya. 

Makanan? Saya tidak boleh masak sama kakak, jadi nurut apa yang diberikan saja. Kadang kalau ingin telur ya bikin sendiri, ada mie instant juga dari logistik desa. Selain itu nggak ada hal istimewa, saya menghabiskan waktu untuk online seperti biasanya. 

Berbarengan dengan saya, ada beberapa teman online yang memang terpapar. Mereka tidak hanya swab antigen tapi juga PCR, lalu konsumsi multivitamin ini dan itu. Saya yang menyimak cukup tersenyum saja karena pas terpapar memang ada sebuah ketakutan tersendiri makanya pengennya semua dibeli dan dikonsumsi. 

Jadi ingat pas kakak ipar dan kakak saya juga, semua dibeli rasanya. Wajar, tapi kembali lagi bahwa vitamin atau asupan apapun itu tetap harus didukung dengan pemikiran yang positif dan yang pasti jangan dikit-dikit cemas karena malah menurunkan imunitas.

 

Doc. pribadi

 

Dari sekian hal yang saya lalui, ada beberapa benang merah yang bisa saya tarik sebagai sebuah simpul.Dalam artian, sekian hal yang jadi ini membuat saya sadar bahwa banyak hal-hal kecil yang sudah saya abaikan dan lupakan:

Pertama

Saya sadar bahwa saya adalah orang yang sangat abai dengan masalah kesehatan, padahal umur sudah tidak lagi muda dan asupan yang sembarangan sudah harus mulai dicegah. Selain itu, saya paling malas kalau yang namanya bersinggungan dengan olahraga, mungkin ini bisa jadi salah satu hal serius yang harus mulai saya pikirakan karena sebelumnya cuma jadi pengisi to do list tanpa dikerjakan. Intinya, lebih aware sama kesehatan diri sendiri, mulai dari menjaga pola makan, pola tidur dan juga pola istirahat. 

Selain itu, mungkin pola berpikir pada apa yang terjadi setiap hari. Bagaimana menyikapi banyak masalah agar nggak mudah baperan, nggak mudah terdistrak dan fokus pada tujuan. Hey, hidup ini bisa berhenti kapan saja, rasanya plak banget jika saya hanya sibuk bermain saja tanpa memikirakan bahwa mungkin saya bisa sedikit bermanfaat untuk orang lain.  

Kedua

Soal terpapar dari siapa yang sampai saat ini masih jadi rasa penasaran bagi saya, tapi sudahlah. Dari sini, mungkin ada sebuah keharusan, untuk lebih aware pada oranglain juga apalagi pada keadaan yang serba tidak pasti semacam ini.

Artinya, soal kita perduli pada kesehatan kita yang pada akhirnya berpengaruh juga pada orang lain. Orang tanpa gejala atau orang yang merasakan gejala ringan kadang tidak merasa menjadi carrier dan  tenang saja dengan keadaan mereka. Padahal, jauh dari semua, mereka bisa saja jadi pemicu bagi kesakitan orang lain. 

Okelah, jika yang terpapar tidak punya penyakit bawaan dan cukup sehat. Pertanyaanya, bagaimana jika yang terpapar ternyata punya penyakit bawaan dan berakibat fatal. Hal ini sangat banyak terjadi, dan masyarakat, terutama di desa kurang banget pemahaman soal ini. Saya juga termasuk bandel karena merasa hidup di linkugan kecil, tapi pada akhirnya sadar. Bahwa kesehatan kita, juga berkaitan erat dengan kesehatan orang lain pada akhirnya.

Ketiga

Saat ishoman, maka hal yang saya sangat syukuri adalah kedekatan saya dengan keluarga. Kakak rumahnya ada di samping, Orang tua ada di depan rumah, keduanya berdekatan. Adik bungsu saya di Jogja juga cukup support dengan memberikan dukungan meskipun hanya via chat. 

Blood is thicker than water, ini mah orang Jawa banget kan ya? Well, yes... Saya juga nggak membayangkan jika saya ada di tempat yang jauh, merantau kayak dulu misalnya. Sebaik apa orang, tapi kalau bukan kerabat atau keluarga dekat pasti ada rasa segan.  

Dari segi ini, saya banyak bersyukur karena bisa memperbaiki hubungan dengan keluarga. Bagaimanapun, setelah sekian banyak hal, saya harus mengakui bahwa adakalanya saya memang orang yang kaku bahkan terhadap keluarga saya sendiri. Terbiasa hidup jauh dari orang rumah, sekat itu ada dan masih tinggi sehingga saya kadang merasa tidak begitu dekat dengan mereka.

Setelah semua hal, saya mulai berpikir ulang tentang kesalahan-kesalahan saya sebagai seorang anak, adik dan juga kakak. Plus sebagai seorang ibu, karena selama ini saya ternyata cukup sangat khawatiran sama anak. Terbukti, selama ishoman, si kecil tidak rewel meskipun tidak ada saya. Bahkan dia terkesan biasa saja jauh dari saya, lha sayanya yang keder merasa nggak dapat tempat lagi, wkwk

Keempat

Bekerja secara online, adalah hal plus yang saya syukuri saat ishoman. Dari dulu, saat awal pandemi melanda, saya cukup bersyukur dengan pekerjaan saya yang memang tidak butuh keluar rumah. Ketika terpapar, saya berucap syukur lagi. Ada tim yang sudah siap back up, ada beberapa aplikasi yang sangat membantu pekerjaan saya sebagai admin di medsos. 

Rasanya, tampak sebuah support system yang luar biasa. Teman-teman online juga langsung cepat tanggap. Memberikan informasi yang dibutuhkan dan juga tidak segan membrikan bantuan secara langsung tanpa diminta. Duh, ini semacam kelebihan yang mungkin tidak dipunya semua orang. 

Tentu saja, hal yang demikian bikin saya lebih tenang dan merasa mendapat banyak dukungan secara moril. Bahwa banyak orang di luar sana yang cukup mengangap saya berharga dan layak dikhawatirakan, hoah...Jadi merasa berharga itu kunci imunitas bisa naik, semacam mood booster, semacam jamu, semacam mantra tersendiri untuk saya, alhamdulillah. 

The last but not the leat

Banyak-banyak bersyukur dalam hidup, tentang apa saja yang sudah dijatahkan. Ishoman membuat saya punya banyak waktu berkontemplasi, berpikir kembali. Menata banyak hal yang beberapa waktu ini berantakan, termasuk menata kembali hati, menguatkan apa yang saya yakini karena mendekati tahun keempat menjadi ibu tunggal  itu balik lagi nggak mudah. Bagian ini mungkin nanti saja ceritanya, wkwk

Selama beberapa hari ini, saya berhasil membuat pembaharuan di dream board, memperbaiki catatan keuangan, daily activities, merekap keuangan tim yang sedikit kurang teratur, mengingat kembali untuk lebih on time ibadah. 

Kembali merangkul tim agar lebih baik sistem kerjanya, tentu saja juga sebagai pembelajaran bagi saya sendiri jika ke depannya ingin punya keadaan yang lebih baik secara finasial. Harus mulai rombak dan serius untuk ngurus bisnis, harus mulai menata lagi apa yang ingin dilakoni dan dijalani sesuai ndengan passion, nggak lagi-lagi nyoba hal-hal baru, bukan waktunya lagi.

Intinya, ada kalanya Allah itu memang ingin dekat kita dengan cara yang berbeda, semacam membuat ujian yang semacam ini. Namun, ada hal-hal lain yang ingin juga ditunjukkan pada kita, di sini saya sebagai seorang individu yang kadang masih kurang bisa berdamai dengan persepsi saya sendiri. Bismilah, semoga ini jadi awal yang lebih baik, untuk memulai banyak hal baru, dan juga untuk bisa konsisten terus menulis dan berbagi. 

Lamongan, 4 Juli 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar