Yuhuu..
Akhirnya nulis lagi, alhamdulillah. Di hari keberapa
ini? Kalender kalau nggak salah tanggal 15 Januari 2018.
Padahal resolusi 2018 itu rajin nulis di blog.
Elahhh, ada saja masalah yang bikin jadi tameng dan alasan untuk sekedar
bengong, sok sibuk dan melupakan target yang sudah dibuat. Begitulah, manusiawi
sekali jika selalu mencari alasan. Bukannya mencari penyelesaian, kita kadang
terlalu fokus pada masalahnya. Alhasil, nggak kelar-kelar, wkwkwk
Awalnya, saya ingin menulis banyak hal tentang saya,
kehidupan saya di Jember dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Jember. Kebetulan,
banyak hal yang menarik menurut saya di Jember. Saya pun tinggal di kota, akses
kemana saja lebih mudah. Ndilalah, banyak hal bersliweran. Hal-hal semrawut
yang akhirnya menarik saya ke kota kelahiran saya, Lamongan. So, kayaknya saya
perlu banting setir soal topik menulis.
Ish, mau nulis di blog kok repot banget ya? Serasa
ngajuin proposal saat mau skripsian. Bingung nyari topik, bingung nyari
literature plus bingung nyari dosen pembimbing. Mau nulis mah, nulis saja.
Nulis blog buat curhatan kan sah saja, memenuhinya dengan puisi cerpen juga
sah-sah saja kayaknya. Sayanya saja yang bingung karepe dewe, mbulet wae
istilahnya.
Dan pada akhirnya, saya mengubah nama blog, biar lebih mudah
ngisinya. Intinya, sekarang nulis ya nulis sajalah. Kalau kebanyakan membaca
teori malah bingung mau nulis apa,
ujung-ujung buntu idenya. Padahal sebenarnya banyak hal yang bisa ditulis
meskipun dari desa sekecil ini.
Hai, Lamongan, ijinkan aku berdiam diri di sini
lagi. Lalu menulis tentang banyak hal dari kamar kecil yang panas tanpa kipas
angin.
Saya
Dan Jember
Peta Jember https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jember |
Bicara tentang Jember, rentang waktu 2004-2017
bukanlah waktu yang pendek. Bagi saya, Jember seperti rumah kedua. Tahun 2004,
saya hanyalah salah satu dari puluhan atau mungkin ratusan mahasiswa baru yang
terdampar di Jember. Jujur, Universitan Jember (UNEJ) bukanlah pilihan pertama.
Namun, Allah tenyata menetapkan taqdir saya di kota Suwar-Suwir ini. Dimana,
saya banyak mengukir kisah baik yang patut dikenang dengan senyuman ataupun
sebaliknya.
Saya, seorang mahasiswa yang kebetulan masuk di
Fakultas Sastra di UNEJ, memilih kost di Jalan Bangka. Fakultas Sastra yang
terletak di Jalan Jawa punya dua jalan tikus, satunya dari Jawa VII. Satunya di
Jalan Jawa, di sebelah pintu masuk ke Bank Jatim, Fakultas Ekonomi. Oya, jalan
tikus yang di Jalan Jawa sudah ditutup sekarang, temboknya lebih tinggi lagi.
Saya punya cerita sedikit tentang jalan tikus itu,
cukup seru. Jaman saya masih mahasiswa, entah karen alasan keamanan atau apa,
jalan itu ditutup. Terpaksa, kami yang biasanya menggunakan jalan tersebut
memutar lewat Jawa VII atau lewat Fakultas Ekonomi. Ketika hari libur, maka
saya dan teman-teman akan menyusup lewat celah pagar, ataupun meloncatinya.
Kalau harus muter lewat jalan utama, maka dipastikan gempor duluan.
Monumen TRiumviraat Universitas Jember |
Hingga suatu hari, jalan tikus yang sudah ditembok
itupun dirubuhkan. Saya yang kebetulan suka nongkrong di Sekret ikutan
dipanggil oleh Dekanat Sastra. Biasalah, ceramah panjang kali lebar. Sempat
juga seluruh UKM Sastra kumpul dan membahas hal itu. Cukup lama, jalan itu
dibiarkan berlubang. Hingga akhirnya ditutup lagi dan pagarnya dibangun lebih
tinggi. Saat itu saya sudah lulus kalau tidak salah.
Saya ini, termasuk mahasiswa kere yang suka beli
makan di lesehan, ke kampus jalan kaki dan ngetik tugas di rental. Dari kostan
ke kampus ada beberapa warung dan lesehan yang saya lewati. Untuk yang kost di
daerah Bangka dengan gang angka ganjil pasti memilih jalan pintas, sebuah jalan
sempit di sebelah sungai. Jalan ini lumayan serem dengan isu Penjahat Kelamin
alias PK, salah seorang teman satu kost pernah jadi korban, Dia menangis ketika
sampai di kostan, membuat kami merinding. Tapi besoknya kami tetap lewat situ,
he he he
Banyak sekali kenangan jaman kuliah yang lekat
di Jember. Apalagi kalau bicara soal kampus UNEJ, kangen rasanya kembali
jadi mahasiswa. Namun, sejalan waktu kenangan itupun terkikis juga. Universitas
juga sudah di face off lebih cantik dan elegan, tidak seperti UNEJ jaman dulu.
Setelah lulus, saya awalnya memang akan kembali ke
Lamongan. Saya bahkan sudah sempat microteaching di salah satu sekolahan dekat
rumah. Waktu itu, sebenarnya saya sudah kerja di sebuah bimbingan belajar
dengan gaji yang alhamdulillah cukup buat hidup di Jember. Rencana pulang
itupun gagal, ketika si bungsu menyusul ikutan kuliah di UNEJ. Dan, akhirnya
saya tersesat lebih lama lagi, membuat saya merasa yakin akan menghabiskan
hidup di sini selamanya. Nyatanya, Allah memberikan jalan lain, tepat di akhir
2017 lalu saya meninggalkan Jember.
Homesick
Di Rumah Sendiri.
Peta Lamongan https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamongan |
Hampir sebulan saya pulang di rumah, menempati
sebuah kamar yang dulunya kamar ibu dan bapak. Kamar kecil yang sangat panas
tanpa kipas angin, yang membuat Aqila tidak mau tidur siang. Lalu mengajak saya
tidur di depan tivi saja, karena satu-satunya kipas angin ada di sana. Merasa asing di rumah sendiri, itulah saya. Sejak
lulus Sekolah Dasar, saya memang dikirim bapak untuk menikmati dunia luar.
Tinggal jauh dari orang tua, menjadi mandiri, keras kepala dan akhirnya menjadi
sangat berbeda. Tiga tahun di daerah Gresik, lanjut di Kota Lamongan, Jakarta
setahun. Sekitar 13 tahun di Jember dan akhirnya kembali lagi.
Semua terasa beda, sangat beda. Ketidak hadiran ibu
diantara kami, membuat semuanya terasa beda. Saya kangen masakan beliau, kangen
ngobrol di sore hari sambil guyonan. Kangen dimarahin, dibilang nggak rapi saat
membuat sesuatu atau dicereweti soal mendidik anak. Kita memang tidak akan
pernah siap dengan sebuah kehilangan, apalagi kehilangan yang tiba-tiba.
Kehilangan yang membuat saya cukup lama kosong dan tidak fokus, lalu satu
persatu kehilangan lain menyusul.
Saya
merasa tidak kerasan di rumah sendiri, jujur!
Saya harus menyesuaikan banyak hal, termasuk kembali
memahami dan menerima bahwa saya sekarang hidup seatap dengan bapak. Mau tidak
mau, saya harus menyesuaikan banyak hal, termasuk dalam mendidik Aqila. Kembali
memanage waktu, hati dan banyak hal lagi.
Kata teman saya, ini sebuah efek. Efek tidak pernah
mau diam, efek sering keluyuran dan efek tidak mencintai kampung halaman. Ini
jadi sebuah bahan olokan bagi kami, homesick di kampng sendiri itu karma paling
menakutkan, wkwkwk
Patung Bandeng Lele |
Memasuki bulan kedua, saya sudah bisa lebih sedikit
rilek. Bisa menerima sinyal yang selalu nyut-nyutaan, timbul tenggelam begitu saja. Aqila juga mulai bisa
beradaptasi, mulai bicara satu atau dua kalimat dalam Bahasa Jawa. Mulai punya
teman di sekolah dan tempat ngaji , tidak rewel meskipun tidak ada mini market
tempat beli es krim. Intinya, kami mulai bisa menerima dan menyesuaikan diri.
Well, hidup ini memang sebuah pilihan. Mau tetap bertahan
dengan segala kisah lama, atau maju selangkah ke depan dengan kisah lama yang
diperbaharui. Bahkan bisa jadi hidup dengan menutup segala sesuatu dari masa
lalu untuk membuka lembaran baru.
Lamongan-Jember-Lamongan
Bagi saya, ada seribu satu kisah yang patut saya
telaah kembali untuk bisa memulai langkah baru di kota kelahiran saya. Mungkin,
saya lahir di sini namun saya telalu banyak mbolang ke tempat lain. Jikalau
akhirnya saya kembali, maka saya harus kembali berkenalan secara formal. Saya
yakin, banyak hal yang telah disiapkan Allah di sini. Banyak hal perlu saya
pelajari kembali agar saya bisa menemukan bagaimana hidup itu sebenarnya.
Sekali, selamat datang untuk diri saya sendiri
Banyak harapan dan impian yang hendak saya wujudkan,
bismillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar